Pesantren dan Tradisi Mawlid

Shaykh Gibril Fouad Haddad

Telaah Atas Kritik Terhadap Tradisi Membaca Kitab Mawlid di Pesantren

 
Thoha Hamim1
 

Peringatan Mawlid Nabi Muhammad SAW. sejak pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117.M.) sudah menimbulkan kontrofersi. Peringatan tersebut saat itu memang masih dalam taraf ujicoba. Ujicoba kelayakan ini tanpak ketika penguasa Dinasti Fatimiyah berikutnya melarang penyelenggaraan peringatan Mawlid tadi2. Peringatan Mawlid diadakan untuk menegaskan bahwa keluarga Dinasti Fatimiyah adalah betul betul keturunan Nabi Muhammad SAW. (ahl al-bayt). Penegasan hubungan geneologi ini sangat diperlukan untuk mengesahkan “hak” keluarga Fatimiyah sebagai “pewaris kekuasaan politiknya” Nabi Muhammad.

Bukti lain bahwa keabsahan peringatan Mawlid masih diperdebatkan adalah, bahwa banyak ulama dari berbagai madhhab secara eksplisit menunjukkan sikap pro dan kontra terhadap tradisi ini. Al-Suyuti, seorang ulama’ dari madhhab Shafi’i, menulis kitab Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid untuk mengesahkan tradisi Mawlid. Sebaliknya, al-Fakihin, seorang ulama dari madhhab Maliki, menolak peringatan Mawlid yang secara terurai dia jelaskan alasan alasannya dalam kitabnya al-Mawrid fi Kalam ‘al-Mawlid3.

Dalam era modern, peringatan Mawlid bukan hanya dipersoalkan oleh kelompok reformis-puritan, seperti orang-orang Wahhabi yang dengan tegas mengharamkannya, tetapi juga oleh mereka yang moderat. Argumen “klise” yang mereka ajukan adalah bahwa peringatan Mawlid tidak diperintahkan dalam nass (teks) al-Qur’an, tidak pula dicontohkan oleh Rasul Allah dan juga tidak pernah ditradisikan oleh para Salaf4.

Peringatan Mawlid berubah menjadi sebuah perayaan yang di selenggarakan hampir disetiap kawasan Islam, setelah dipopulerkan oleh Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur wilayah Irbil di masa pemerintahan Sultan Salah al-Din al-Ayyubi. Peringatan yang sepenuhnya memperoleh dukungan dari kelompok elit politik saat itu, diselenggarakan untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam yang sedang menghadapi ancaman serangan tentara Salib (Crusaders) dari Eropa. Namun perlu disebutkan bahwa peringatan ini diselenggarakan dengan menyisipkan kegiatan hiburan, dimana atraksi atraksinya melibatkan para musisi, penyanyi serta pembawa cerita (story tellers). Ukuran kemeriahan peringatan bisa dilihat dari banyaknya jumlah pengunjung yang datang dari berbagai kawasan, bahkan sampai dari luar wilayah kekuasaannya Abu Sa’id al-Kokburi5.

Perdebatan tentang peringatan Mawlid juga berlangsung cukup sengit di Indonesia di era sebelum tahun 1970-an. Walaupun perdebatan serupa sekarang resonansinya sudah tidak nyaring lagi, namun perdebatan tersebut sesekali muncul dalam saat saat tertentu dan tentu dalam sekala yang sangat kecil dan materi yang berbeda6.

Kritik terhadap peringatan Mawlid di Indonesia pada era sebelum tahun 1970-an diarahakan kepada tradisi membaca tiga kitab Mawlid, yang dilakukan oleh kalangan pesantren, yaitu al_Barjanji, al-Diba’i, dan al-Burdah. Kalangan pesantren memang menjadikan tiga kitab tersebut sebagai bahan bacaan tunggal dalam setiap kegiatan peringatan Mawlid mereka. Perlu disebutkan bahwa kalangan pesantren bukan hanya membaca tiga kitab tersebut, tetapi juga memasukkan kajian Mawlid kedalam kurikulum pondok pesantren mereka. Kitab Mawlid yang dipakai dalam kajian ini umumnya yaitu, Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud, karangan Muhammad Ibn ‘Umar al-Bantani7

Mereka yang menolak peringatan Mawlid menganggap bahwa peringatan Mawlid yang dilakukan dengan cara membaca tiga kitab tadi adalah perbuatan tercela (bid’ah dalalah). Sewlanjutnya mereka menuduh bahwa dengan tetap mempertahankan tradisi Mawlid, maka berarti kalangan pesantren telah mengesahkan amalan yang dicela Islam8. Alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa pujian yang termuat dalam tiga kitab tadi melanggar batasan puji pujian yang digariskan oleh Syari’ah. Menurut mereka, materi pujian yang menggambarkan Nabi sebagai pemberi syafa’ah, ampunan dan keselamatan adalah perbuatan syirk, karena pujian seperti itu menempatkan Nabi dalam kapasitas sebagai pemberi keselamatan, sebuah status yang menjadi hak mutlaknya Tuhan saja9.

Penolakan terhadap konsep syafa’ah memang bisa difahami. Al-Qur’an sendiri tidak memberikan kepastian hukum yang tegas terhadap kedudukan syafa’ah. Sementara dalam beberapa ayatnya, al-Qur’an menganggap syafa’ah sebagai perilaku yang tidak benar, sedangkan dalam ayat lain al-Qur’an tidak menolaknya10. Namun dalam sebuah hadith, Rasul Allah SAW. diriwayatkan pernah memberikan syafa’ah kepada seseorang yang telah meninggal. Bahkan hadith yang memberitakan tentang syafa’ah tersebut bukan hanya memiliki kualitas shahih, tetapi juga qudsi11. Barangkali karena konsep syafa’ah sudah memiliki landasan nass hadith, maka sebagian ulama kemudian menerima keabsahan syafa’ah dengan cara membuat kesepakatan sampai ke tingkat ijma'(konsensus)12.

Perlu dijelaskan bahwa syafa’ahnya Rasul Allah yang diberikan kepada ummatnya besok pada hari Kiamat memang sering disebutkan dalam beberapa kitab hadith13. Syafa’ah yang akan diberikan Rasul Allah di hari Kiamat itulah jenis syafa’ah yang dimaksudkan dalam tiga kitab Mawlid tadi. Kitab Qasidat al-Burdah misalnya menggambarkan jenis syafa’ah dimaksud sebagaimana yang dinyatakan dalam salah satu bait syair dalam kitab itu yang artinya : “Dia (Muhammad) adalah orang yang dicintai dan yang syafa’atnya diharapkan kelak bisa membebaskan (ummatnya) dari kegalauansuasana (dihari Kiamat) yang sangat menakutkan itu (huwa al-habibu al-ladhi turja syafa’atuhu min kulli hawlinmina al-ahwali muqtahimi)”14.

Yang menarik dalam mengamati penolakan tersebut adalah bahwa para penolak telah mengeluarkan tradisi pujian kepada Nabi dari dimensi kesejarahannya. Tanpaknya mereka tidak memperhitungkan bahwa tradisi pujian sudah ada sejak masa hidupnya Rasul Allah. Dengan kata lain bahwa pujian kepada Rasul Allah SAW. (prophetic panagerics) adalah sebuah tradisi yang usianya setua Islam itu sendiri. Tradisi ini diperkenalkan oleh tiga penyair resminya Rasul Allah, yaitu Hassan Ibn Thabit, Abd Allah Ibn Rawahah dan Ka’ab Ibn Malik.

Tradisi pujian kepada Rasul Allah ini bukan hanya disetujui oleh Nabi, tetapi juga didorongnya. Hal ini tampak ketika Nabi memuji Ka’ab Ibn Zuhayr yang menggubah qasidah pujian kepadanya. Nabi setelah mendengarkan pujian yang disampaikan oleh Ka’ab sangat terkesan, sampai sampai beliau melepaskan burdahnya dan dikenakan ketubuh Ka’ab sebagai hadiah sekaligus ungkapan persetujuan. Qasidah pujian yang digarap oleh tiga penyairnya Rasul Allah dan Ka’ab kemudian menjadi acuan bagi para penyair Muslim, ketika berkreasi menciptakan pujian, baik dalam bentuk syi’ir (puisi) maupun nathr (prosa), sebagaimana tanpak dalam tiga kitab pujian yang beredar dikalangan pesantren tersebut. Produktifitas karya pujian mereka kepada Nabi melahirkan sebuah genre (jenis) pujian khas, dengan karakter prosody (ritme) yang spesifik, yang dalam kajian sastra Arab dikenal dengan istilah al-Mada’ih al-Nabawiyah (Prophetic Penegerics)15.

Bentuk pujian yang diungkapkan oleh para penyair dalam genre Mada-ih al-Nabawiyah memang menggunakan bahasa yang penuh dengan ungkapan metaphorik dan simbolik agar kesempurnaan pribadi Nabi bisa terungkapkan dengan jelas. Hal seperti ini tentunya bisa dimaklumi, karena al-Qur’an sendiri ketika menyebut nama Muhammad seringkali diiringi dengan berbagai ungkapan pujian yang elok, agar peran Nabi sebagai manusia pilihan yang harus diteladani bisa tergambarkan16.

Pujian kepada Nabi yang terangkum dalam tiga kitab Mawlid tersebut , walaupun disajikan dalam ungkapan bahasa yang dipenuhi metaphor dan simbol, bukan tipe pujiannya kalangan sufi tertentu, yang seringkali mengangkat derajat kemanusiaannya Muhammad SAW. sampai ketingkat Tuhan (deity). Bahkan Qasidat al-Burdah yang komplek dalam menggunakan ungkapan metaphorik dan simbolik, dibandingkan dengan al-Barjanzi dan al-Diba’i, dan karenanya akan membuka peluang untuk menjadi ekstrim dalam mengungkapkan pujiannya, selalu mawas diri agar tidak terjerumus kedalam pola pujian yang melampaui batas. Al-Busiri, pengarang al-Burdah, mengecam mereka yang memuji Nabi sampai menghilangkan dimensi kemanusiaannya. Menurutnya, pujian ekstrim seperti itu dilarang keras oleh Rasul Allah sendiri, sebagaimana yang dinyatakan dalam sabda beliau bahwa “Janganlah engkau memberikan pujian kepadaku sampai melewati batas, sebagaimana pujian yang diberikan oleh orang Nasrani kepada Isa (la tutruni kama atra al-nashara Isa)”17.

Kritik terhadap Mawlid juga diarahkan pada cara para pembaca kitab Mawlid melagukan syair dan prosa bersanjak dalam tiga kitab tersebut, yang menurut mereka disertai dengan gerakan kepala18. Barangkali yang dimaksud dengan gerakan kepala adalah gerakan untuk berdhikir. Mereka menduga bahwa membaca kitab Mawlid selalu dibarengi dengan kegiatan dhikir. Perlu disebutkan disini, bahwa gerakan kepala baik yang dimaksudkan untuk berdhikir ataupun tidak, tidak ada dalam prosesi bacaan kitab Mawlid. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan kepala bisa saja terjadi sebagai reaksi spontan terhadap bahan bacaan yang memiliki ritme. Walaupun hanya Qasidah al-Burdah yang ditulis dalam bentuk puisi, al_Barzanji dan al-Diba’i juga memiliki ritme bacaan, karena keduanya ditulis dalam bentuk prosa bersanjak (al-nathr al-masu’)19.

Mengkaitkan dhikir dengan pembacaan kitab Mawlid memang bisa saja relefan, karena peringatan Mawlid adakalanya didahului dengan acara dhikiran, sebagaimana yang terjadi dalam tradisi Mawlid di negeri Mesir20. Namun jika pengkaitan antara keduanya dilakukan untuk mengidentifikasikan karakter tradisi Mawlid di Indonesia, maka pengkaitan seperti itu tidak bisa dibenarkan, sekalipun dhikir dengan gerakan kepala adalah model dhikir yang diamalkan oleh warga pesantren yang notabene adalah juga pemilik tradisi membaca kitab Mawlid di Indonesia.

Mereka yang menolak tradisi Mawlid mendasarkan argumennya pada pendapat ulama yang menolak tradisi tersebut. Diantara mereka yang terkenal adalah Ibn al-Hajj, yang dalam kitabnya al-Madkhal sangat mengecam peringatan Mawlid, yang menurut pengamatannya selalu melibatkan aktifitas hiburan. Ibn al-Hajj menilai bahwa dengan memasukkan unsur hiburan kedalam peringatan Mawlid, maka peringatan tersebut telah berubah fungsi dari media untuk mengagungkan Rasul Allah SAW. menjadi media untuk melakukan perbuatan maksiyat21

Perlu diketahui bahwa Ibn al-Hajj, seorang ulama madhhab Maliki, memang terkenal sangat keras menentang kegiatan peringatan dan perayaan keagamaan apapun yang sudah menjadi tradisi pada masa hidupnya. Dia menulis kitab al-Madkhal yang khusus dirancang sebagai acuan bagi pelaksanaan tradisi keagamaan yang “benar”. Dalam kitab tersebut, Ibn al-Hajj mencantumkan sederetan contoh tradisi yang termasuk dalam kategori peringatan yang menurut pendapatnya bertentangan dengan Syari’ah dan yang tidak bertentangan dengannya22.

Ulama lain yang pendapatnya sering dijadikan sandaran oleh kelompok penolak peringatan Mawlid adalah Ibn Taymiyah. Ibn Taymiyah mengecam tradisi perayaan Mawlid, jika perayaan seperti itu dianggap sebagai bagian integral dalam peringatan Mawlid. Kegiatan perayaan seperti itu , menurut Ibn Taymiyah, akan menghilangkan nilai peringatan itu sendiri dan karenanya hanya pantas dilakukan oleh orang orang Zindiq23.

Namun perlu disebutkan bahwa sekalipun Ibn al-Hajj mengecam tradisi Mawlid, peringatan Mawlid yang tidak dibarengi dengan unsur-unsur hiburan (folkloric elements) baginya diperbolehkan. Malahan dia sendiri mengkategorikan peringatan Mawlid yang tidak melibatkan musik, lagu serta pesta sebagai tradisi yang baik. Sikap seperti ini bisa dimengerti, karena Ibn al-Hajj memahami Mawlid sebagai peristiwa yang harus diisi dengan kegiatan reflektif dan bukan dengan kegembiraan24. Sikap Ibn Taymiyah tidak jauh berbeda dengan Ibn al-Hajj, Ibn Taymiyah hanya menyoroti praktek praktek populer yang sudah menyatu dengan peringatan Mawlid. Sedangkan peringatan yang semata mata dilakukan untuk mengungkapkan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. menurutnya bukan kegiatan bermasalah.

Tradisi pembacaan Kitab pujian kepada Rasul Allah biasanya dilandaskan kepada pendapat para fuqaha’ dari madhhab Syafi’i, Ibn Hajar al-Asqalani, misalnya, menyatakan bahwa tradisi seperti itu menyimpan makna kebajikan. Al-Suyuti juga menunjukkan sikap toleran terhadap produk budaya yang dihasilkan oleh tradisi mengagungkan kelahiran Nabi25. Sikap kedua fuqaha tadi juga disepakati oleh fuqaha’ Syafi’i yang lain, diantaranya Ibn Hajar al-Haytami dan Abu Shamah. Bagi kedua fuqaha’ yang namanya disebutkan terakhir tadi, peringatan Mawlid menjadi datu perbuatan (baru) yang paling terpuji (wa min ahsani ma ubtudi’a), jika disertai dengan amal ihsan kemasyarakatan, seperti sadaqah, infaq serta kegiatan lain yang bernilai ibadah26.

Mereka juga menganggap bahwa hadith yang dipergunakan untuk mengesahkan tradisi Mawlid adalah hadith mawdu’. Menurut hadith ini, Nabi Muhammad pernah diriwayatkan bersabda bahwa : “Barang siapa yang mengagungkan hari kelahiranku, maka akan aku beri syafa’at nanti dihari Kiamat”27. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa orang orang yang melaksanakan peringatan Mawlid memang biasa menggunakan hadith yang lemah periwayatannya. Karena itu, menurut mereka, orang orang tersebut bukan hanya bertanggungjawab terhadap tersebarnya hadith mawdu’ tentang Mawlid, tetapi juga hadith mawdu’ lain yang melahirkan berbagai tradisi keagamaan di Indonesia yang tidak dibenarkan oleh agama28.

Hadith mawdu’ yang dinukil diatas adalah satu dari beberapa hadith serupa yang dimuat dalam kitab kitab hadith yang dijadikan teks di pondok pesantren, seperti Durrat al-Nasihin, Wasiyat al-Mustafa, Usfuriyah, dan Qurrat al-Uyun29. Kitab kitab teks tadi umumnya tidak mencantumkan klasifikasi hadith serta tidak menguji keabsahan para periwayat yang mentransmisikannya. Bahkan kitab Wasiyat al- Mustafa dapat dikatagorikan kitab yang semata mata menarasikan dialog antara Rasul Allah SAW. dengan Ali Ibn Abi Talib dalam soal moral, ritual maupun keyakinan. Karena itu Wasiyat al-Mustafa lebih tepat disebut sebagai kitab tuntunan praktis yang mengajarkan soal soal sopan santun, ibadah dan aqidah dan bukan sebagai kitab teks hadith30.

Kalangan pesantren yang melaksanakan tradisi peringatan Mawlid biasanya tidak menyandarkan kegiatan peringatan mereka pada hadith mawdu’ diatas. Mereka juga mengakui bahwa hadith itu termasuk salah satu dari beberapa hadith lain yang lemah yang dimuat dalam kitab kitab teks hadith tadi31. Mereka juga mengetahui bahwa memalsukan hadith adalah perbuatan dosa, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadith, yang bukan hanya memiliki kualitas sahih tetapi juga mutawatir32

Kalangan pesantren menganggap bahwa peringatan Mawlid sudah diisyaratkan sendiri oleh Rasul Allah, ketika beliau dalam sebuah hadith diriwayatkan pernah menyuruh sahabatnya berpuasa dihari Senin untuk memperingati hari kelahirannya33. Bahkan Ibn al-Hajj yang enggan menerima peringatan Mawlid juga menggunakan hadith tersebut sebagai dalil untuk mengesahkan peringatan Mawlid34. Perlu disebutkan bahwa hadith dimaksud memiliki tingkat keabsahan yang baik karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad Ibn Hanbal35.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka yang menolak peringatan Mawlid menganggap bahwa peringatan tersebut tidak memiliki landasan teks yang kuat. Meraka juga berkeberatan dengan materi bacaan yang termaktub dalam kitab pujian kepada Rasul Allah. Walaupun kalangan pesantren yang mempraktekkan peringatan tersebut tidak bisa mendatangkan dalil dari sumber primair Islam, yaitu -al-Qur’an, mereka memperoleh landasan hukum dari pendapat fuqaha’ madhhab Syafi’i, yang menetapkan tradisi seperti itu sebagai perbuatan yang disayogyakan (bid’ah hasanah) dan dari sebuah hadith yang secara tidak langsung telah mengisyaratkan perlunya peringatan Mawlid.

Perlu disebutkan bahwa perringatan Mawlid yang biasanya dipraktekkan oleh kalangan pesantren semata mata diisi dengan membaca kitab Mawlid dan tidak disertai dengan atraksi hiburan apapun. Adalah atraksi hiburan dalam peringatan Mawlid yang menyebabkan para ulama abad tengah, seperti Ibn al-Hajj dan Ibn Taymiyah, mengganggap peringatan seperti itu sebagai perbuatan yang bermasalah. Demikian pula Muhammad Abduh. seorang ulama modern yang juga menyatakan keberatannya atas peringatan Mawlid, hanya mengkritik kegiatan kegiatan diluar acara inti peringatan, seperti pasar malam, panggung gembira dan lain sebagainya. Abduh menamakan peringatan Mawlid yang diisi dengan atraksi hiburan sejenis itu dengan istilah pasar kefasikan (suq al-fusuq)36.

Acara hiburan yang dapat menghilangkan kekhidmatan peringatan Mawlid bisa dijumpai dalam tradisi Grebeg Mawlid yang merupakan salah satu perayaan terpenting dalam tradisi budaya Islam Jawa. Grebeg Mawlid biasanya melibatkan atraksi hiburan, yang diselenggarakan dalam sebuah pasar malam, seperti gelar wayang kulit, pertandingan olah raga, drama, lotere bahkan judi37.

Atraksi atraksi semacam itulah yang menyebabkan ulama abad tengah enggan untuk menyetujui tradisi peringatan Mawlid. Karena peringatan Mawlid dalam prakteknya seperti itu , menurut mereka, kemudian berubah menjadi sebuah perayaan yang lebih menekankan pada aspek kegembiraan, hingga makna dan hikmah peringatannya hilang. Perlu disampaikan bahwa Grebeg Mawlid dalam prakteknya lebih tepat dikatakan sebuah perayaan. Kalaupun toh Grebeg Mawlid masih bisa dianggap sebagai peringatan, maka sisi peringatannyapun sarat dengan praktek praktek sinkritisme.

Sinkritisme ini tanpak dalam acara mengarak gunungan, yaitu makanan berbentuk gunung yang dihiasi dengan berbagai macam bunga, telur serta buah buahan. Prosesi ini sangat penting, karena mengarak gunungan adalah sebuah ritual pokok dalam Grebeg Mawlid, yang diyakini bisa melimpahkan barakah bagi para pesertanya. Setiap benda yang ditaruh dalam gunungan tadi dianggap menyimpan makna magis. Disamping itu, perayaan Grebeg Mawlid masih harus disempurnakan dengan pagelaran wayang kulit, walaupun puncak prosesinya ditutup dengan pembacaan kitab al-Barzanji, yang dilakukan oleh penghulu Keraton Yogyakarta, sebagai bukti bahwa Grebeg Mawlid adalah tradisi Islam38

Jika menggunakan tolok ukur yang ditentukan oleh Ibn al-Hajj dan Ibn Taymiyah, dua ulama abad tengah yang pendapatnya dipegangi oleh kelompok penolak tradisi Mawlid, maka Grebeg Mawlid masuk kategori peringatan yang bermasalah. Dengan demikian maka sebetulnya yang lebih pantas untuk dikritik bukannya tradisi peringatan Mawlid yang inti acaranya adalah membaca kitab pujian, tetapi Grebeg Mawlid yang berporos pada acara hiburan serta ritual sinkritis.

Dari tema yang disajikan dalam makalah ini dapat dipetik satu kesimpulan bahwa, polemik tentang peringatan Mawlid adalah sarana untuk menguji keabsahan tradisi keagamaan dan bukan sekedar fenomena konflik internal antar kelompok dalam masyarakat Islam. Penolakan terhadap tradisi Mawlid adalah satu sikap yang perlu diambil untuk menghindari munculnya prilaku berlebihan dalam mengaktualisasikan rasa hormat dan kecintaan kepada Nabi. Sikap berlebihan bisa saja terjadi, karena silau dengan berbagai sifat sempurna yang mengitari kepribadian Muhammad. Pandangan pro dan kontra terhadap keberadaan tradisi Mawlid secara substantif tidak bertentangan antara satu dengan yang lain. Dua pandangan yang bentuk lahirnya kontradiktif itu diperlukan untuk menciptakan asas keseimbangan (equilibrium). Seimbang karena menempatkan Nabi sebagai manusia pilihan yang kelahirannya patut diperingati, namun dalam waktu yang sama mengindahkan norma yang telah digariskan oleh Nabi sendiri. Peringatan Mawlid memiliki kedudukan yang istimewa dihati komunitas Muslim Indonesia. Dia adalah satu satunya Peringatan Hari Besar Islam yang diselenggarakan di Istana Negara. Adalah Presiden Pertama Republik ini yang berwasiat kepada siapapun yang menjadi penggantinya agar selalu menyelenggarakan peringatan Hari Lahirnya Nabi Muhammad SAW. di Istana Kepresidenan.

Endnote :

  1. Disampaikan dalam acara Dies Natalis IAIN ke 32 oleh DR.Thoha Hamim, Wakil Ketua Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
  2. Hasan al Sandubi, Tarikh al-Ihtifal bi al-Mawlid al-Nabawi (Kairo:Mathba’ah al-Istiqamah, 1948), 64-65.
  3. Lihat al-Suyuthi, Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid (Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1985), 45-61.
  4. Annemarie Schimmel, And Muhammad is His Messenger (Chapel Hil Nort Caroline: Press, 19854). 149
  5. Lihat Ibn Khallikan, Biographical Dictionary, Vol 2 (ter.) Bn. Mc.Guckin de Slane (Paris: Printed for the Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.1842-1871). 539.
  6. Lihat artikel artikel yang dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah dan Aula. Tim PP Majlis Tarjih “Peringatan Mawlid Nabi” Suara Muhammadiyah (Juli 1993). 21: Zulfahmi. “Mawlud ke1466” Suara Muhammadiyah (September 1993), 28-29. Sahal Mahfudh. “Nabi Sendiri Sudah Mengisaratkan Perlunya Peringatan Maulid”. Aula (Oktober 1990) 67-68. “Maulud Nabi Alih Semangat Zaman Ini”, Aula (Oktober 1990). Juga lihat NJG Kaptein. Muhammad’s Birthday Festival (Leiden. EJ Brill 1993) 45. footnote no.1.
  7. Lihat Muhammad Ibn ‘Umar al-Bantani, Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud (Semarang, Matba’at Taha Putra,t.t.).
  8. Howard M. Fiderspiel, The Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Modern Indonesia Project, 1970) 57.
  9. Untuk mengetahui pendapat kelompok penolak tentang Mawlid, lihat pendapatnya A. Hasan, tokoh utama Persis Bangil dan Moenawar Chalil, ketua Majlis Utama Persis dan nggota Majlis Tarjih Pusat Muhammadiyah. Fiderspiel, The Persatuan Islam, 57 : Moenawar Chalil “Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan” Pembela Islam no.65.
  10. J.W. Fiegenbaum, “The Ta’ziah : A. Popular Expression of Sh’i Thought” (Montreal : MA thesis. Mc.Gill University, 1965) 123.
  11. Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Vol.2 (Beirut : Dar al-Fikr 1983), 258 : al-Ahadith al-Qudsiyah (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1990) 255-272.
  12. AJ. Wensinck “Shafa’a” Encyclopedia of Islam Vol.7 (ed) M. Th. Houtsma et. Al. (Leiden : EJ. Brill 1987) 251.
  13. Muslim, Shahih Muslim Vol.1 (Beirut : Mu’assasat ‘Izz al-Din 1987) 230-232, 233-235, 237-239: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Vol.13 (Beirut : Dar al-Ma’rifah 19?) 392-393.
  14. Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyat al-Bajuri ‘ala Matn Qasidat al-Burdah (Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah 1947) 22-23.
  15. Dari pemberian burdah tersebut, maka qasidah pujian yang digubah oleh Ka’ab dikenal dengan nama Qasidat al-Burdah. Zaki Mubarak. al-Mada’ih al-Nabawiyah (Beirut: Dar al-Jil 1992) 11-12.
  16. Al-Qur’an , 33:43, 33:56.
  17. Al-Bajuri, Hashiyat al-Bajuri, 26.
  18. Chalil, “Fatwa Oelama” 22.
  19. Mubarak. al-Mada’ih al-Nabawiyah, 177.
  20. Von Grunebaum, Muhammadan’s Festivals, 77.
  21. Chalil, “Fatwa Oelama”, 20; Ibn al-Hajj, al-Madkhal Vol.2 (Kairo, al-Matba’ah al-Misriyah bi al-Azhar , 1929) 11-13.
  22. Muhammad Umar Memon, Ibn Taymiya’s Struggle againts Popular Religion with an Annotated Translation of His Kitab Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim Mukhalafat Ashab al-Jahim (The Haque: Mouton, 1976) 6.
  23. Chalil, “Fatwa Oelama”, 21.
  24. Ibn al-Hajj, al-Madkhal vo.2, 15.
  25. Al-Suyuti, Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid, 45-51.
  26. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1992) 177-181.
  27. Moenawar Chalil, “Hadith-Hadith Mauludan”, Abadi (29 Pebruari 1953).
  28. Moenawar Chalil, “Ratjoen Jang Berbahaja Bagi Oemmat Islam”, Pembela Islam no.54, 25.
  29. Kitab Palsu Dalam Hadith Kuning”, Aula (Pebruari 1994), 13.
  30. Lihat ‘Abd. al-Wahhab al-Sha’rani, al-Minah al-Saniyah ‘ala al-Wasiyah al-Matbuliyah (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah,t.t).
  31. Kitab Palsu dalam Hadith Kuning, 13.
  32. Bunyi teks hadith dimaksud adalah ” Barang siapa berdusta kepadaku dengan sengaja, maka dia tentulah akan ditempatkan di Neraka”. Abu Abd Allah Ibn Adi, Al-Kamil fi Du’afa’ al-Rijal (Bagdad: Matba’at Salman al-‘Azami,t.t) 18, footnote 4.
  33. Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki, Baqah ‘Atirah min Siyagh al-Mawalid wa al-Mada’ih al- Nabawiyah al-Karimah (t.t.; t.t.: 1983),6.
  34. Ibn al-Hajj, al-Madkhal, Vol.2,3.
  35. Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol.2 (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah 1988) 142; Ibn Rajab, Kitab Lata’if al-Ma’arif lima li al-Mawasim al-‘Amm min al-Waza’if (Beirut : Dar al-Jil 1975) 93.
  36. Muhammad ‘Abduh “al-Ittiba’ wa al-Taqlid” dalam al-Imam, Muhammad Abduh (ed) Adunis dan Khalidah Sa’id (Kairo : Dar al-Ilmi li al-Malayin 1983) 61.
  37. Judaningrat, “Sambutan Ketua” Risalah Sekaten I (Nopember, 1954).
  38. Soedjono Tirtokoesoemo. The Gerebegs in the Sultanaat Jogjakarta. (ter), FD. Hansen Raae (t.t. : Nadruk Verboden, t.t.), 16

Kritik dan komentar dapat di klik di sini