Khansa’ Binti KhidzamKhansa’ Binti Khidzam(Puteri-puteri Teladan dalam IslamDari: “An-Nisaa’ Haula Ar-Rasuul” (diterjemahkan menjadi “Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah SAW”)oleh Muhammad Ibrahim Saliim. Ditulis oleh: Hanies Ambarsari. Islam meletakkan wanita di tempat yang patut. Dia adalah pemimpin rumah tangga dan pelaksana urusan serta penanggungjawabnya. Orang laki-laki membantunya dalam urusan itu, sedang dia membantu orang laki-laki dalam urusan selain itu. Adapun kemerdekaannya, maka hal itu tampak dalam kemerdekaan perkawinan dan kebebasan menyatakan pendapatnya. Itu adalah urusan haknya. Tidak seorang pun boleh meram- pas haknya untuk berpendapat atau melanggar izinnya. Kemerdekaannya dalam hal itu lebih jauh jangkauan dan lebih sempurna kedudukannya daripada orang laki-laki. Apabila dia menikah dengan seorang laki-laki, kemudian orang laki-laki itu tidak menyukai lalu meninggalkannya sebelum menggauli, maka baginya setengah dari mahar. Jika dia meninggalkannya sesudah menggauli, maka isteri berhak atas mahar seluruhnya. Suami tidak boleh berkata : Nasab itu derajatnya di bawah aku. Semua wanita sepadan dengan laki-laki, hanya ketakwaannya saja yang menentukan perbedaan derajat di sisi Allah SWT. Wanita boleh memutuskan ikatan perkawinan, jika dia tertipu atau dipaksa melakukannya. Orang laki-laki tidak boleh memaksanya menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Rasulullah SAW telah membatalkan pernikahan Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariah, karena ayahnya menikahkan, sedang dia tidak suka. Khansa’ binti Khidzam adalah dari Bani Amru bin Auf bin Aus. Dia berjumpa dengan Nabi SAW ketika beliau datang ke Madinah. Pada waktu itu Khansa’ masih kecil dan mendengar tentang Nabi SAW. Dia lalu dipinang oleh dua orang : Yang pertama adalah Abu Lubabah Ibnul Mundzir, seorang pahlawan tersohor di antara para shahabat Rasulullah SAW. Sedang kedua adalah seorang laki-laki dari Bani Amru bin Auf, familinya. Dia lebih menyukai Abu Lubabah, sedangkan ayahnya memilih putera pamannya. Kemudian sang ayah tetap melangsungkan pernikahannya tanpa memperdulikan persetujuan puterinya. Maka pergilah Khansa’ kepada Rasulullah SAW dan berkata : “Ayahku telah memaksaku untuk menikah dan tidak mempedulikan perasaan- ku.” Maka Nabi SAW bersabda kepadanya :”Tidak sah nikahnya. Nikahilah orang yang engkau kehendaki.” [Sahih Bukhari, juz 7 halaman 18 dan Al-Ishaabah juz 8, halaman 65]. Kemudian dia menikah dengan Abu Lubabah. Para muhaddis berselisih tentang keadaannya ketika dia menikah. Dalam riwayat Muwaththa’ dan Ats-Tsauri disebutkan, bahwa dia masih perawan. Dalam riwayat Bukhari dan Ibnu Sa’ad disebutkan, bahwa dia sudah janda dan berkata :”Wahai, Rasulullah, sesungguhnya paman anakku lebih aku sukai.” Maka Nabi SAW menyuruhnya memilih. Syamsul Aimmah As- Sarkhasin meriwayatkan dalam Al-Mabsuth hadits Khansa’ binti Khidzam dengan versi berikut : Khansa’ berkata :”Ayahku menikahkan aku dengan putera saudaranya, sedangkan aku tidak menyukai hal itu.” Maka Nabi SAW menjawab :”Setujuilah apa yang diperbuat ayahmu.” Aku berkata :”Aku tidak menyukai apa yang dilakukan ayahku.” Nabi SAW bersabda :”Pergilah. Nikahnya tidak sah. Nikahilah orang yang engkau sukai.” Khansa’ berkata : “Aku setuju dengan apa yang dilakukan ayahku, tetapi aku ingin semua orang mengetahui, bahwa para ayah tidak boleh sewenang-wenang dalam urusan puteri-puteri mereka.” Penulis Al-Mabsuth berkata :”Nabi SAW tidak mempersalahkan perkataannya itu.” [Al-Mabsuth juz 5, halaman 2] Pembicaraan tentang Khansa’ beralih pada pembicaraan tentang Bariroh. Siapakah Bariroh itu ? Dia adalah sahaya perempuan dari Haba- syah yang dimiliki oleh Utbah bin Abu Lahab. Dia mengawinkannya dengan sahaya laki-laki Mughirah. Tidaklah dia menyukainya, kalau boleh dia memilih. Maka Ummul Mu’minin Aishah r.a. merasa kasihan, lalu membeli dan membebaskannya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadanya :”Engkau telah menguasai dirimu, maka pilihlah.” Suaminya berjalan di belakangnya sambil menangis, sementara Bariroh menolaknya. Maka Nabi SAW bersabda kepada para shahabatnya : “Tidakkah kalian merasa heran atas cintanya yang sangat kepada isterinya dan kebencian sang isteri kepada suaminya ?” Kemudian beliau bersabda kepada Bariroh :”Takutlah kepada Allah, karena dia adalah suami dan ayah anakmu.” Bariroh berkata :”Apakah engkau menyuruhku ?” Nabi SAW menjawab: “Sesungguhnya aku adalah pemberi syafa’at.” Bariroh berkata :”Kalau begitu, aku tidak membutuhkannya.” [Al-Mabsuth, juz 5, halaman 99 yang disusun oleh Syamsul Aimmah As-Sarakhasii, salah satu Imam Hanafiah dan kadhi terkemuka] Apakah orang-orang merasa heran setelah itu, melihat penentangan wanita-wanita Arab terhadap kesewenang-wenangan para bapak dan wali mereka? Betapa banyak kejahatan dilakukan dengan sebab pengabaian pendapat anak- anak perempuan dan karena mereka dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sepadan dalam hal tabiah dan akhlaq, demi mengejar materi dan mengharapkan harta suami. Tidakkah para bapak mengingat penderitaan psikologis dan jasmani yang dialami oleh anak-anak perempuannya itu ? Inilah seorang wanita muda yang dikawinkan ayahnya tanpa izin. Dia menulis surat kepada ayahnya : Wahai, Ayahku, engkau aniaya aku dan engkau timpakan cobaan padaku dan engkau serahkan diriku ke tangan orang yang menghinakannya Wahai, Ayahku, kalau tidak takut dosa tentulah engkau telah didoakan yang dikabulkan karena kesalahanmu. Seorang wanita lain berkata ketika ayahnya mengawinkannya dengan putera pamannya : Sungguh mengherankan wanita cantik yang dikawinkan dengan seorang tua; Ia menyuruhnya kawin dengan orang itu karena masih kerabatnya. Hati-hatilah wanita cantik terhadap putera pamannya.