Sunday, December 22, 2024
spot_img
HomeUncategorizedShafiyah Binti Abdul Muththalib رضي الله عنها

Shafiyah Binti Abdul Muththalib رضي الله عنها

Shafiyah Binti Abdul MuththalibShafiyah Binti Abdul Muththalib(Saudara Perempuan Teladan Dalam Islam) Dari: “An-Nisaa’ Haula Ar-Rasuul” (diterjemahkan menjadi “Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah SAW”) oleh Muhammad Ibrahim Saliim. Diketik oleh: Hanies Ambarsari. Dia adalah saudara ayah Rasulullah SAW dan ibu Az-Zubair bin Awwam serta saudara kandung Hamzah, Singa Allah, paman Nabi SAW dan orang yang dicintainya. Dia masuk Islam bersama kelompok pertama yang beriman kepada Nabi SAW yang mulia dan ikut hijrah ke Yatsrib (Madinah). Wanita yang Sabar dan Mengharapkan Pahala Sedikit di antara wanita-wanita Arab yang dapat menandinginya dalam hal kemuliaan asal atau kemuliaan cabang. Allah SWT memberinya kekuatan iman dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan, dan kesediaan berkorban di jalan-Nya. Dia adalah contoh bagi saudara perempuan yang sabar dan mengharap pahala serta ridho dengan keputusan Allah SWT. Dalam perang Uhud, ketika para juru panah meninggalkan posisi mereka untuk mengambil harta rampasan perang dengan melanggar perintah Nabi SAW, datanglah musuh mereka dari belakang menyerangnya. Pada waktu itu Hind binti Utbah, suami Abi Sufyan dan ibu Khalifah Muawiyah telah keluar bersama pasukan musyrikin untuk membalas dendam atas kematian ayah dan pamannya yang dibunuh Hamzah dalam Perang Badr. Dia membujuk budaknya, bernama Wahsyi, bahwa jika dia berhasil membunuh Hamzah, maka dia akan mendapat imbalan harta sebanyak yang disukainya. Maka terjadilah apa yang diinginkan oleh Hind. Wahsyi dapat berhasil melempar Hamzah dengan tombaknya, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Habasyah, sehingga Hamzah rebah dan tewas. Kemudian Wahsyi berlari menemui majikannya yang menari bersama rombongan wanita Quraisy, sementara mereka memukul rebana untuk memberi semangat kepada kaum laki- laki Quraisy. Lalu Hind bergegas pergi bersama Wahsyi yang telah menyam- paikan kabar gembira itu kepadanya. Dia mulai membelah dada Hamzah dan mencabut hatinya, kemudian mengunyahnya dengan gigi-giginya untuk memu- askan diri dan membalas dendam. [Astaghfirullaahal adziim, Naudzubillaahi min dzaalik] Shafiyah, saudara sang syahid Singa Allah, mendengar berita ini. Maka dia pun datang ke medan pertempuran mencarinya. Rasul SAW melihat dan mengetahui bahwa bibinya akan menghadapi situasi yang sulit bila melihat Hamzah dalam keadaan itu. Maka beliau berkata kepada puteranya, Az-Zubair :”Suruhlah dia kembali, agar tidak menyaksikan keadaan sauda- ranya itu.” Kemudian Az-Zubair pergi dan berkata kepadanya dengan suara tenang namun sedih :”Wahai, Ibuku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruhmu kembali.” Shafiyah menjawab dengan segera dalam ketenangan dan keyakinan : “Mengapa ? Aku telah mendengar bahwa saudaraku itu telah dirusak tubuhnya dan hal itu demi Allah. Maka kami ridho atas kejadian itu dan aku akan bersabar dengan baik dan akan mengharap pahala, insyaAllah.” Az-Zubair kembali mengabari Rasulullah SAW tentang kesabaran dan ketabahan yang ditunjukkan Shafiyah, dan dia sampaikan perkataan ibunya itu kepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :”Biarkan dia pergi.” Shafiyah bersikap tabah dan teguh. Dia memandang sang syahid dengan pandangan perpisahan seraya berkata :”Semoga Allah melimpahkan sholawat kepadamu, wahai, Abu Ammaroh dan mengampuni dosamu. Kita adalah kaum yang terbiasa mengalami pembunuhan dan mati syahid. Tiada daya dan kekuatan, melainkan dengan pertolongan Allah. Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Cukuplah Allah sebagai pelindungku dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung. Semoga Allah mengampuni dosamu dan dosaku serta membalasmu dengan balasan bagi hamba- hamba-Nya yang mukhlis.” Hari-hari berlalu dan keteguhan Shafiyah dalam perang Uhud tetap menjadi contoh yang tinggi dalam hal kesabaran dan ketabahan. Sesungguh- nya kehidupan Shafiyah seluruhnya adalah pelajaran. Kepahlawanan Wanita dan Laki-laki Dalam Perang Khandaq, Shafiyah berada bersama para wanita dan anak-anak di dalam benteng yang dijaga Hassan bin Tsabit, penyair Nabi SAW. Situasi di Madinah sangat gawat, karena dikepung dari segenap penjuru. Yahudi Bani Quraidhah telah mengkhianati janji. Medinah ter- ancam dari dalam dan dari luar. Di sinilah kemudian Shafiyah melihat orang Yahudi berkeliling di benteng dan melewati parit pertahanan. Maka Shafiyah berkata kepada Hassan :”Hai, Hassan, orang Yahudi itu mengelilingi benteng. Aku khawatir dia akan menunjukkan rahasia kita kepada orang-orang Yahudi yang di belakang kita.” Tahukah Anda, apa yang dilakukan oleh Hassan ? Hassan takut perang dan menghindari pertempuran. Dia berkata :”Semoga Allah mengampuni dosamu, wahai, puteri Abdul Muththalib. Demi Allah, engkau tentu sudah lama tahu aku bukanlah orang yang bertugas melakukan hal ini dan tidak mempunyai kekuatan untuk itu.” Wanita-wanita keluarga Rasulullah SAW termasuk Shafi- yah, berada dalam bahaya. Maka bagaimana dia bisa berdiam diri ? Shafiyah mengambil sebatang tiang kemah dan keluar dari benteng, lalu menyerang orang Yahudi itu. Dia memukul kepala orang itu dengan tiang hingga roboh ke bumi. Ketika itu Shafiyah memukulnya berulang-ulang hingga menewaskannya. Lalu dia kembali ke benteng dan melemparkan tiang itu dari tangannya, dan dia kembali kepada Hassan serta berkata :”Hai, Hassan, aku telah membunuh orang Yahudi itu. Turunlah dan rampaslah harta bendanya. Aku tidak bisa melakukannya karena dia seorang laki-laki, sedang aku seorang wanita.” Penyair itu menjawab :”Demi Allah, aku tidak punya keperluan (hak) untuk merampasnya, wahai, puteri Abdul Muththalib.” Adalah Shafiyah mengabdi pada da’wah di sekitar Rasulullah SAW dengan kekuatan, kesabaran dan keberanian serta ketepatan pendapat dan membela kehormatan. Takdir telah menghendaki adanya penimbangan antara kepahlawanan wanita dan laki-laki dalam satu peristiwa. Dalam suatu sikap, orang laki-laki meninggalkan keberanian yang justru diharapkan darinya. Dia relah meninggalkan sikap pahlawan untuk diberikannya kepada seorang wanita yang mestinya kurang keberaniannya dibandingkan laki-laki. Di sini, sejarah tidak ketinggalan sedikit pun untuk mencatat keberanian orang wanita dalam suatu keadaan, di mana orang laki-laki tidak melakukannya. Marilah kita buka kembali buku sejarah, siirah, khabar-khabar (hadits), cerita peperangan atau biografi dan kitab Tha- baqaat, pastilah kita temukan kisah Shafiyah binti Abul Muththalib bersama mata-mata Yahudi yang memata-matai untuk mengetahui rahasia kaum Muslimin. Ibnu Hisyam mencatat peristiwa Shafiyah dengan orang Yahudi itu sebagai nukilan dari sejarawan Ibnu Ishaq. Sejarah memelihara kehebatan Shafiyah ini, agar dapat diikuti oleh wanita dari tahun ke tahun, sepanjang zaman. Mata-mata Yahudi selalu berada di setiap tempat untuk mengawasi kita. Mereka menyiapkan segala persiapan untuk mendirikan negara di atas tulang-belulang korban- korban kita. Apakah sejarahh akan mengulangi dirinya sehingga kita bisa menemukan seseorang di antara wanita-wanita kita yang menghadapi para mata-mata itu ? Kita harapkan adanya seorang “Shafiyah” dalam setiap pertempuran yang dicatat dalam sejarah mengenai keberaniannya. Sejarah Shafiyah ini menyerukan kepada setiap laki-laki dan wanita Arab :”Bukalah mata kalian dan waspadalah terhadap bahaya- bahaya di sekeliling kalian.”